Sabtu, 12 Maret 2011

mengenal serta mengamati dan mengkaji seni rupa anak sekolah dasar

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Upaya yang terus-menerus yang dilakukan pemerintah dalam menyikapi
era globalisasi, perkembangan jaman di masa ini, adalah dengan mencerdaskan
kehidupan bangsa khususnya di bidang pendidikan dasar. Pendidikan dasar bertujuan
memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan
kehidupan sebagai pribadi anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat
manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah.
Sebagaimana kita lihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003 tertera bahwa Sekolah Dasar merupakan penggal pertama dari pendidikan
dasar sembilan tahun. Sekolah Dasar sebagai penggal pertama diselenggarakan enam
tahun dan selanjutnya sebagai penggal kedua adalah Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) yang diselenggarakan selama tiga tahun.
Kebijaksanaan baru ini mempengaruhi fungsi Sekolah Dasar, Sekolah Dasar tidak lagi sekadar berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan memberikan keterampilan
“baca, tulis, hitung” dan setumpuk pengetahuan yang telah dipelajarinya. Namun,
diharapkan agar keseluruhan keterampilan ini harus bermakna bagi anak.
Keterampilan tersebut dapat dijadikan alat untuk memecahkan permasalahanpermasalahan
dalam kehidupan anak pada saat ini dan masa mendatang.
Dengan adanya pendidikan seni di Sekolah Dasar anak dapat mengembangkan
keterampilan berkarya serta cita rasa keindahan dan kemampuan menghargai seni.
Dalam kurikulum 2004, pendidikan seni di Sekolah Dasar dilaksanakan melalui mata
pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertangkes) mempunyai tujuan: (1)
mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa melalui penelaahan jenis, sifat,
fungsi, alat, bahan, proses dan teknik dalam membuat berbagai produk teknologi serta
seni yang berguna bagi kehidupan manusia, (2) mengembangkan kemampuan
intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan kreatif, keterampilan, dan mengapresiasi
terhadap hasil karya seni dan keterampilan dari berbagai wilayah Nusantara dan
mancanegara, dan (3) menumbuhkembangkan sikap profesional, kooperatif, toleransi,
kepemimpinan, kekaryaan, dan kewirausahaan. Pembelajaran keterampilan seni rupa berfokus pada pembinaan praktik
pengalaman studio atau aspek psikomotorik. Pembelajaran ini lebih diwarnai oleh
latihan berolah seni rupa baik dalam bentuk latihan dasar (pengenalan alat, bahan
teknik) maupun latihan penciptaan. Untuk siswa Sekolah Dasar, dalam berkarya
mempunyai tema yang bervariasi, mulai dari makhluk luar angkasa, binatang4
binatang imajinatif. Pengenalan media dan teknik menggambar menjadikan pilihan
anak untuk berkarya sesuai yang disukai. Dengan eksperimen, anak dapat mencoba
berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam menggunakan alat dan bahan untuk
berkarya. Penggunaan bahan dan peralatan pembuatan karya menggambar tidak
sebatas pada kertas, crayon, cat poster, pensil warna tapi dapat juga kita pakai sumba
(pewarna makanan dan sebagainya ), kertas warna sebagai media pilihan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, masalah yang ingin peneliti
angkat dalam penelitian ini, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembelajaran apresiasi dalam pendidikan seni rupa di
Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar?
2. Bagaimana hasil pembelajaran apresiasi dalam pendidikan seni rupa di
Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar?
3. Faktor apakah yang menjadi penentu proses pembelajaran apresiasi di
Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini
adalah untuk memperoleh informasi proses pembelajaran apresiasi dalam pendidikan
seni rupa di Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar. Sehubungan
dengan itu, tujuan penelitian secara khusus dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan proses pembelajaran apresiasi dalam
pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar Kecamatan Karang Sembung
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hasil pembelajaran pembelajaran
apresiasi dalam pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar
3. Untuk mengetahui faktor penentu proses pembelajaran apresiasi dalam
pembelajaran seni rupa di Sekolah Dasar Negeri 1 Karang Mekar Kecamatan
Karang Sembung.

1.3 Manfaat Penelitian
Mengacu pada masalah dan tujuannya, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Untuk dunia pendidikan seni rupa, sebagai bahan masukan tentang proses
pembelajaran apresiasi dalam pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar.
2. Untuk memacu bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang tertarik pada
masalah pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar.



BAB II
LANDASAN TEORI DAN PERKEMBANGAN SENI RUPA ANAK SEKOLAH DASAR
2.1 Landasan Teori
1. Perodisasi menurut Kerchensteiner (Muharam dan Sundaryati, 1991: 34) Upaya yang telah dilakukan Kerchensteiner adalah mengadakan penyelidikan pada anak-anak dari masa bayi sampai empat belas tahun. Dari 100.000 buah gambar ia menggolongkannya dalam beberapa periode, masa, yaitu:
Masa Mencoreng : 0 - 3 tahun
Masa bagan : 3 - 7 tahun
Masa bentuk dan garis : 7 - 9 tahun
Masa bayang-bayang : 9 - 10 tahun
Masa persfektif : 10 - 14 tahun
2. Periodisai menurut Cyrl Burt (Lowenfeld, 1975: 118-119) Membagi periodisasi gambar menjadi tuju tingkatan, yaitu:
Masa mencoreng : 2 - 3 tahun
Masa garis : 4 tahun
Masa simbolisme deskriptif : 5 - 6 tahun
Masa realisme deskriftif : 7 - 8 tahun
Masa realisme visual : 9 - 10 tahun
Masa represi : 10 – 14 tahun
Masa pemunculan artistic : masa adolesen
3. Periodisasi masa perkembangan seni rupa anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan periodisasi sebagai berikut:
Masa mencoreng (scribbling) : 2-4 tahun
Masa Prabagan (preschematic) : 4-7 tahun
Masa Bagan (schematic period) : 7-9 tahun
Masa Realisme Awal (Dawning Realism) : 9-12 tahun
Masa Naturalisme Semu (Pseudo Naturalistic) : 12-14 tahun
Masa Penentuan (Period of Decision) : 14-17 tahun.

2.2 Perkembangan Seni Rupa Anak Sekolah Dasar
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan teori tahap-tahap perkembangan menggambar/seni rupa secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan karya tiga dimensi lainnya. Ada dua cara untuk memahami perkembangan seni rupa anak-anak. Pertama, mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan senirupa anak menurut para ahli. Kedua, mengamati dan mengkaji karya anak secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan karya anak berdasarkan rentang usia yang relevan dengan teori yang telah kita pelajari. Melalui kegiatan ini, diharapkan kita bisa memahami perkembangan seni rupa anak secara komprehensif. Dalam psikologi perkembangan dinyatakan baha pada rentang kehidupan manusia khususnya anak ada yang disebut masa keemasan yang dikenal dengan masa peka. Hal ini dipertegas oleh Piere Duquet (1953: 41) bahwa: “A childre who does not draw is an anomaly, and particulary so in the years between 6 an 10, which is outstandingly the golden age of creative expression”. Pada masa peka atau keemasan ini anak harus diberi kesempatan agar potensi yang dimilikinya berfungsi secara maksimal. Masa peka tiap orang berbeda-beda. Secara umum, masa peka menggambar ada pada masa lima tahun, sedangkan masa peka perkembangan ingatan logis pada umur 12 dan 13 tahun (Muharam dan Sundaryati, 1991: 33). Selanjutnya, untuk terciptanya kesempatan bagi siswa agar dapat melakukan ekspresi kreatif, maka guru perlu melakukan kegiatan berupa: 1) memberi perangsang (stimulasi) kepada siswa, 2) guru dapat mempertajam imajinasi dan memperkuat emosi siswa dengan menggunakan metode pertanyaan yang dikembangkan Sokrates.
Kemampuan siswa kelas rendah dalam membuat gambar tampak lebih spontan dan kreatif dibandingkan dengan siswa kelas tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi usia anak, maka kemampuan rasionya semakin berkembang sehingga dapat berpikir kritis. Kondisi ini akan mempengaruhi anak dalam hal spontanitas dan kreatifitas karya. Bila rasionya sudah berfungsi dengan baik, maka dalam membuat karya seni, misalnya menggambar, mereka selalu mempertimbangkan objek gambar secara rasional; bentuk yang baik, proporsi yang tepat, penggunaan warna yang cocok sesuai dengan benda yang dilihatnya. Sejalan dengan pendapat di atas, sebagai guru pendidikan seni rupa perlu memahami perkembangan artistik (artistic development) peserta didik.
1. Masa Coreng-Moreng (Scribbling Period) Kesenangan membuat goresan pada anak-anak usia dua tahun bahkan sebelum dua tahun sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jarinya yang masih menggunakan motorik kasar. Hal ini dapat kita temukan anak yang melubangi atau melukai kertas yang digoresnya. Goresan-goresan yang dibuat anak usia 2-3 tahun belum menggambarkan suatu bentuk objek. Pada awalnya, coretan hanya mengikuti perkembangan gerak motorik. Biasanya, tahap pertama hanya mampu menghasilkan goresan terbatas, dengan arah vertikal atau horizontal. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan motorik anak yang masih mengunakan moRotik kasar. Kemudian, pada perekmbangan berikutnya penggambaran garis mulai beragam dengan arah yang bervariasi pula. Selain itu mereka juga sudah mampu mambuat garis melingkar. Periode ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: 1) corengan tak beraturan, 2) corengan terkendali, dan 3) corengan bernama. Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tak beraturan adalah bentuk gembar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah adanya kerjasama antara koordiani antara perkembangan visual dengan perkembamngan motorik. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal , vertical, lengkung , bahkan lingkaran. Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya anak mulai mengontrol goresannya bahkan telah memberinya nama, misalnya: “rumah”, “mobil”, “kuda”. Anak-anak memiliki jiwa bebas, ceria. Mereka sangat menyenangi warna-warna yang cerah misalnya dari crayon. Kesenangan menggunakan warna biasanya setelah ia bisa memberikan judul terhadap karya yang dibuatnya. Penggunaan warna pada masa ini lebih menekankan pada penguasaan teknik-mekanik penempatan warna berdasarkan kepraktisan penempatannya dibandingkan dengan kepentingan aspek emosi. Pada masa mencoreng, bila anak difasilitasi oleh orang tua maka akan memiliki peluang untuk melakukan kreasi dalam hal garis dan bentuk, mengembangkan koordinasi gerak, dan mulai menyadari ada hubungan gambar dengan lingkungannnya. Hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru pada masa ini adalah dengan memberi perhatian terhadap karya yang sedang dibuat anak sehingga tercipta kemampuan komunikasi anak dengan orang deswasa secara melalui bahasa.
2. Masa Pra Bagan (Pre Schematic Period) Usia anak pada tahap ini bisanya berada pada jenjang pendidikan TK dan SD kelas awal. Kecenderungan umum pada tahap ini, objek yang digambarkan anak biasanya berupa gambar kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua kaki. Ciri-ciri yang menarik lainnya pada tahap ini yaitu telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris untuk memberi kesan objek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna belum ada hubungan tertentu dengan objek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat atau warna lain yang disenanginya.
3. Masa Bagan (Schematic Period)
Konsep bentuk mulai tampak lebih jelas. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih tetap berkesan datar dan berputar atau rebah (tampak pada penggambaran pohon di kiri kanan jalan yang dibuat tegak lurus dengan badan jalan, bagian kiri rebah ke kiri, bagian kanan rebah ke kanan). Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line)
.
4. Masa Realisme Awal (Early Realism) Pada periode Realisme Awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul, namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan objek dalam lingkungan. Selain itu kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada objek sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan objek, proporsi (perbandingan ukuran) belum dikuasai sepenuhnya. Pemahaman warna sudah mulai disadari. Warna biru langit berbeda dengan biru air laut. Penguasan konsep ruang mulai dikenalnya sehingga letak objek tidak lagi bertumpu pada garis dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini. Ada perbedaan kesenangan umum, misalnya: anak laki-laki lebih senang kepada menggambarkan kendaraan, anak perempuan kepada boneka atau bunga.
5. Masa Naturalisme Semu
Pada masa naturalisme semu, kemampuan berfikir abstrak serta kesadaran sosialnya makin berkembang. Perhatian kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada objek lebih rinci. Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan kesadaran rasa ruang, rasa jarak dan lingkungan, dengan fokus pada hal-hal yang menarik perhatiannya. Penguasaan rasa perbandingan (proporsi) serta gerak tubuh objek lebih meningkat. Tipe haptic memperlihatkan tanggapan keruangan dan objek secara subjektif, lebih banyak menggunakan perasaannya. Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak ekspresi kreatifnya sedang muncul sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesatnya. Sebagai akibatnya, rasio anak seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Apakah gambar ini seperti kucing? Sementara kemampuan menggambar kucing kurang misalnya.Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan karyanya kepada sesamanya.
6. Periode Penentuan Pada periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual makin tampak. Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang merasa tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni rupa, apalagi tanpa bimbingan. Dalam hal ini peranan guru banyak menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni akan berlangsung terus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan semua orang dan siapa pun tak akan terhindar dari sentuhan







Masa Mencoreng
(2 - 4 th)



Masa Prabagan
(4 - 7 th)


Masa Bagan
(7 - 9 th)









Masa Realisme awal
(9 - 12 th)











PERIODE AWAL REALISME (Early Realism Stage)
9 – 12 TAHUN










Masa Naturalisme Semu
(12 - 14 th)













Masa Penentuan
(14-17th)







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenal perkembangan karakteristik anak diperlukan untuk melakukan pendekatan, perencanaan pembelajaran, memilih dan mentukan media, metode dan evaluasi. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun sebagai masa sekolah, perlu didukung oleh guru agar masa peka ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para siswa . Tahap-tahap perkembangan menggambar/seni rupa secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Ada dua cara untuk memahami perkembangan seni rupa anak-anak. Pertama, mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan senirupa anak menurut para ahli. Kedua, mengamati dan mengkaji karya anak secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan karya anak berdasarkan rentang usia yang relevan dengan teori yang telah kita pelajari. Melalui kegiatan ini, diharapkan kita bisa memahami perkembangan seni rupa anak secara komprehensif. Pembagian masa/periodisasi dimaksudkan untuk lebih mengenal karya seni rupa anak dalam hal melakukan kegiatan dan penilaian. Pada umumnya semua periodisai yang dikemukakan oleh para ahli memiliki kesamaan, misalnya dimulai dari dua tahun.
B. Saran
Atas dasar itulah maka saran yang dapat diberikan oleh penulis:
1. Guru di Sekolah Dasar perlu memperhatikan pembelajaran apresiasi karena
terintegrasi dengan pembelajaran kreatif dalam pendidikan seni rupa.
2. Perlu diadakan bimbingan dari pihak Departemen Pendidikan Nasional khususnya
tingkat kecamatan mengenai pembelajaran seni rupa di SD secara baik dan benar,
khususnya pembelajaran seni rupa di sekolah dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Duquet, Piere. (1953). “Creative Communication”. Education and Art. A Symposium. Paris: UNESCO. E, Muharam dan Sundaryati, Warti. (1991). Pendidikan Kesenian II Seni Rupa. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudyaaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Hausman, J. J. (1980). Arts and the Schools. 22
Kamaril, C. Dkk. (1999). Pendidikan Seni Rupa/Kerajinan Tangan. Jakarta: Universitas Terbuka. Lowenfeld, Victor dan Brittain, W. Lambert. (1975). Creative and Mental Growth. Six Edition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Zulkifli, L. (2003). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.

teori umum pendidikan

BAB I
Teori Umum Pendidikan

I. Pendahuluan
Filsafat pendidikan terdiri dari sebagian besar komentar kritis tentang teori pendidikan. teori pendidikan terdiri dari sejumlah teori ruang lingkup dan kompleksitas yang bervariasi, mulai dari teori sederhana tentang pengajaran yang berhubungan dengan beberapa posisi sosial, politik dan agama. Sebagian besar isi dari buku ini menjadi upaya untuk menunjukkan bagaimana teori umum pendidikan mengeluarkan topik yang menarik tentang filosofis dan bagaimana reaksi seorang filsuf pendidikan terhadap pernyataan yang dibuat dalam teori tersebut. Hal ini berguna untuk menunjukkan apa yang akan menjadi topik yang menarik tentang filosofis dan apa bentuk reaksi filsuf yang akan diambil. Dengan 'topik yang menarik filosofis' akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konseptual, tentang hubungan antara satu konsep dan lain, hubungan antara 'pendidikan' dan 'mengajar', misalnya, atau antara 'otoritas' dan 'kekuatan', atau mengungkapkan asumsi melalui argumen,, asumsi yang menjadi dasar argumen, perlu dibentuk sebelum argumen dapat dievaluasi. Argument yang didasarkan pada mereka adalah sumber kepentingan yang mungkin filosofis, dan reaksi filsuf ketika dihadapkan dengan mereka, maka filsuf akan melihat analisis konsep untuk mengetahui sejelas mungkin apa yang akan dikatakan untuk menggambarkan dan memeriksa asumsi yang terlibat dalam argumen, dan untuk mengevaluasi layak atau tidaknya argument tersebut.
Sebuah teori umum berbeda dengan teori yang terbatas. Teori umum seperti memberikan program yang komprehensif untuk menghasilkan orang-orang berpendidikan, sedangkan teori terbatas, seperti bagaimana hal tertentu harus diajarkan, atau bagaimana menangani anak-anak dengan kemampuan yang mereka miliki. Plato, di Republik, menawarkan sejumlah teori terbatas tentang pendidikan, bagaimana memberi anak rasa tertib dan keteraturan alam dan sebagainya. tapi dia tidak begitu dalam teori umum yang bertujuan untuk menghasilkan individu yang mampu memerintah negara. Rousseau Emile berisi banyak teori terbatas yang berguna untuk pelatihan rasa, pelatihan fisik, pelatihan kemandirian dan kesadaran sosial, bukan hanya itu, teori ini juga menawarkan teori-teori dalam lingkup suatu teori umum yang dirancang untuk memberikan apa yang disebut pendidikan 'menurut sifat 'dan untuk menghasilkan' manusia yang berguna '. dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada teori umum pendidikan terdapat sejumlah teori tertentu dan terbatas sebagai bagian dari rekomendasi secara keseluruhan yang mengkarakterisasi semua teori tersebut,
Namun, terbatas atau umum, adalah struktur logis. Setiap teori praktis akan melibatkan serangkaian asumsi atau pengandaian yang bersama-sama membentuk dasar dari argumen. Sebuah teori umum pendidikan akan melibatkan pengandaian dari jenis yang umum. Salah satu dari mereka akan komitmen untuk suatu tujuan berharga yang akan dicapai, dalam hal ini beberapa pengertian umum dari orang berpendidikan. Juga akan ada asumsi tentang bahan baku yang akan bekerja, sifat murid atau umumnya sifat manusia; dan asumsi tentang sifat pengetahuan dan keterampilan dan tentang efektivitas berbagai metode pedagogis. Berbagai asumsi ini merupakan tempat dari sebuah argumen yang akan menyimpulkan seperangkat rekomendasi praktis tentang apa yang harus dilakukan dalam pendidikan. Di sini, kemudian, kita memiliki subyek bagi filsuf untuk bekerja pada:. Konsep ' pendidikan 'dan', orang berpendidikan 'asumsi tentang tujuan yang akan dicapai, tentang apa yang dianggap sebagai orang berpendidikan, asumsi tentang sifat pengetahuan dan metode, dan argumen yang ditawarkan untuk mendukung rekomendasi praktis. Ini adalah pusat utama kepentingan filosofis dalam bidang ini.
Makalah ini akan berkonsentrasi pada pemeriksaan dari dua pusat-pusat kepentingan: asumsi yang dibuat tentang pendidikan dan akhirnya, maksud dan tujuan, dan asumsi yang dibuat tentang sifat manusia.

II. Tujuan Pendidikan
Asumsi yang paling penting yang dibuat dalam teori umum tentang pendidikan adalah asumsi tentang akhir yang akan dicapai. Semua teori praktis, terbatas atau umum, harus dimulai dengan beberapa pengertian tentang tujuan yang diinginkan dan yang harus dicapai. Secara formal suatu teori umum pendidikan dapat dikatakan memiliki satu tujuan saja: untuk menghasilkan seorang yang berpendidikan. Pertanyaan menarik adalah bagaimana memberikan konten besar untuk tujuan ini formal. Ada dua cara yang mungkin dilakukan. Yang pertama adalah mengembangkan sebuah analisis konsep pendidikan, untuk bekerja secara rinci kriteria yang mengatur penggunaan istilah ini sebenarnya. Kriteria akan menjadi orang yang memungkinkan kita untuk menandai orang terpelajar dan yang tidak. Tugas bekerja kriteria ini jatuh ke filsuf analitis pendidikan. Pada awal usaha ini kami bertemu dengan komplikasi. 'Pendidikan' Istilah yang dapat digunakan lebih dari satu cara. Dalam salah satu kegunaannya itu fungsi dalam cara yang lebih atau kurang deskriptif. pendidikan seseorang dapat dipahami sebagai jumlah total dari pengalamannya. Ini adalah sempurna diterima menggunakan kata, sehingga tidak akan pantas untuk mengatakan bahwa pendidikan itu datang kepada seseorang sebagai anak jalanan, atau di sebuah kamp pertambangan. Hal ini akan dijelaskan kepada individu di lembaga khusus pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal ini untuk berbicara pendidikan seorang pria adalah berbicara kematiannya melalui sistem. "Dia dididik di sebuah sekolah 'menandakan bahwa ia pergi ke sekolah yang bersangkutan. Pendidikan, pada penafsiran ini, adalah istilah normatif atau nilai, dan mengimplikasikan bahwa apa yang terjadi kepada individu memperbaiki dirinya dalam beberapa cara.
Istilah deskripsi murni tidak membawa implikasi, misalnya, dalam hal ini untuk memenuhi sekolah cukup untuk menghadiri dalam jangka waktu tertentu. Menurut penggunaan normatif, seorang pria terpelajar adalah orang baik, dan sebagai suatu produk akhir yang diinginkan, seseorang yang harus diproduksi. Ini adalah arti normatif pendidikan yang menyediakan titik awal yang logis dari suatu teori umum, komitmen untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, jenis individu yang diinginkan. Seperti seseorang yang memiliki karakteristik tertentu, seperti kepemilikan jenis tertentu dari pengetahuan dan keterampilan dan memiliki sikap sendiri yang dianggap berharga. Orang berpendidikan akan menjadi salah satu kemampuan intelektual yang telah dikembangkan yang sensitif terhadap masalah yang menjadi perhatian moral dan estetika yang bisa menghargai sifat dan kekuatan pemikiran matematis dan ilmiah, dan yang bisa melihat dunia bersama perspektif historis dan geografis, apalagi, memiliki perhatian tentang pentingnya kebenaran, akurasi, dan keanggunan dalam berpikir. Persyaratan selanjutnya bahwa orang berpendidikan adalah orang yang pengetahuan dan pemahamannya menyeluruh, terpadu, dan bukan hanya sepotong informasi yang diperoleh, sedikit demi sedikit dan tidak berhubungan berbagai kriteria Diambil semua bersama-sama ini memungkinkan kita untuk memberi isi pada gagasan formal orang berpendidikan dengan menetapkan kondisi apa yang harus dipenuhi sebelum memiliki istilah aplikasi. [16] Cara kedua yang dapat tujuannya diberikan bagian tempat itu dalam beberapa konteks tertentu adalah sosial, politik atau agama. Tujuan formal hanya menuntut orang berpendidikan, tapi gagasan ini akan bervariasi di isi sesuai dengan tempat, waktu dan budaya di mana tujuannya adalah untuk direalisasikan. Bagi Plato orang berpendidikan adalah salah satu terlatih dalam disiplin ilmu matematika dan filosofis realitas sejati dalam genggamannya dan kedua mampu dan mau bertindak sebagai bentuk-bentuk wali dan penguasa[19] bagi Herbert Spencer., hidup di zaman dan masyarakatyang sangat berbeda dengan Plato, orang berpendidikan adalah orang yang telah memperoleh pengetahuan dan pengembangan intelektual yang cukup untuk memungkinkan dia untuk mendukung dirinya sendiri dalam sebuah masyarakat industri dan komersial, untuk meningkatkan dan dukungan keluarga, untuk memutar bagian dari warga negara dalam masyarakat semacam itu dan menggunakan luangnya dengan bijaksana. [25] Jenis pengetahuan dan keterampilan yang akan telah memenuhi persyaratan Plato tidak akan banyak kesamaan dengan Spencer di Inggris. James Mill, Thomas Arnold, Kardinal Newman dan John Dewey setiap merumuskan gagasan yang berbeda dari apa yang akan dianggap sebagai orang berpendidikan., seperti muncul para penguasa Kuba, Afrika, dan China tidak diragukan lagi akan memiliki pemahaman yang sangat berbeda dari orang-orang Eropa abad kesembilan belas. Hal ini mungkin layak disebutkan di sini bahwa fakta bahwa substansi tujuannya akan pasti. budaya-relatif adalah alasan yang baik mengapa tidak ada teori umum dapat memberikan rekomendasi berlaku untuk semua situasi pendidikan dan mengapa ada teori umum seperti akan memerintahkan penerimaan universal. Apapun, bagaimanapun, yang penting adalah kenyataan umum bahwa untuk semua teori tersebut adalah asumsi bahwa orang terpelajar adalah seseorang layak memproduksi. Asumsi ini menetapkan tujuan pendidikan, titik keberangkatan logis untuk teori umum pendidikan.

III. Maksud dan tujuan dalam pendidikan
Dalam berbicara tentang tujuan, atau tujuan pendidikan, telah dibuat titik filsafat yaitu, bahwa tujuannya adalah prasyarat logis dari teori praktis. Kecuali mungkin.beberapa mengangap bahwa teori praktis sebagai sesuatu yang tidak berharga Sebuah teori praktis terdiri hanya dari argumen memberikan rekomendasi untuk mencapai akhir beberapa pemikiran yang diinginkan. Praktek, itu dipertahankan dalam bab 1, Hal lain yang dapat dibahas di sini adalah bahwa perbedaan filosofis mungkin dibuat antara 'tujuan' dan 'tujuan'. Perbedaan ini yang terbaik mungkin dibawa keluar dengan menarik perhatian untuk dua pertanyaan yang berbeda yang dapat dimasukkan ke seseorang yang terlibat dalam suatu tugas praktis. Pertanyaan adalah: apa yang kamu lakukan? Dan: apa yang Anda lakukan itu? Untuk mengambil kedua dari pertanyaan-pertanyaan pertama, untuk bertanya: Apa yang kamu lakukan itu? Adalah untuk mensyaratkan beberapa tujuan akhir di luar kegiatan itu sendiri, yang kegiatan ini dirancang dan dimaksudkan untuk membawa. Untuk pertanyaan: untuk apa Anda belajar bahasa Prancis? Jawabannya mungkin: sehingga saya bisa menikmati liburan di Perancis. Pertanyaan: untuk apa Anda menggali sebidang tanah? Bisa dijawab oleh: sehingga saya bisa menanam kentang di dalamnya. Dalam kedua contoh pertanyaan ini bisa saja dimasukkan dalam hal menanyakan tujuan kegiatan. Dalam setiap kasus jawabannya diberikan dalam bentuk instrumental, satu hal yang dilakukan untuk mencapai lain, produk akhir di luar aktivitas itu sendiri. titik 'Tujuan' untuk tujuan eksternal kegiatan. Pendekatan yang agak berbeda ditunjukkan dalam pertanyaan pertama: Apa yang kamu lakukan? Berikut seseorang diminta untuk menentukan tindakan apa nya, untuk menyatakan isinya. Jawaban mungkin dalam kasus ini adalah: Saya mencoba untuk menguasai bahasa Prancis, atau: Saya menggali selama ini sepotong tanah secara menyeluruh. Berikut penjelasan tidak mengacu pada akhir eksternal; itu hanya membuat jelas apa yang sedang dilakukan. Dalam kasus ini akan sesuai untuk meminta agen tidak tentang tujuan, tapi tentang tujuannya. Pertanyaannya adalah: apa yang sebenarnya tentang Anda? Dan jawabannya menetapkan tujuannya, apa tepatnya ia adalah tentang. Pertanyaan tentang tujuan pertanyaan lain sama sekali. Hal ini dapat kita simpulkan dengan mengatakan bahwa sementara tujuan bicara selalu untuk merujuk ke beberapa akhir eksternal yang kegiatan diarahkan, untuk berbicara tentang tujuan tidak untuk merujuk kepada tujuan eksternal tetapi kegiatan itu sendiri, untuk mengakhiri internal . [16 bab 1]
Perbedaan antara maksud dan tujuan yang relevan untuk berbicara tentang pendidikan. Seorang guru mungkin diminta untuk menyatakan tujuan dalam pelajaran tertentu, yaitu, untuk membuat jelas apa yang ia lakukan atau coba lakukan. Dia juga mungkin akan bertanya apa benar-benar sebuah pertanyaan terpisah, yaitu, mengapa ia melakukan itu, apa yang dia lakukan itu, apa tujuannya adalah berusaha untuk mendapatkan murid-muridnya untuk menulis puisi atau untuk memecahkan persamaan kuadrat. Jadi, mungkin , juga untuk meminta pendidikan itu sendiri, apa tujuannya dan apa tujuannya mungkin. bertujuan guru dan tujuan mungkin dimasukkan di bawah judul umum tujuan pendidikan dan tujuan. Sekarang, tujuan pendidikan, seperti yang telah disarankan, adalah untuk menghasilkan manusia terdidik, orang yang memenuhi berbagai kriteria perkembangan intelektual, moral dan estetika. Pendidikan tentu saja dapat, , dikatakan memiliki tujuan bawahan, seperti, misalnya, pengembangan kesadaran sastra, atau pemberian apresiasi mode ilmiah atau berpikir matematis, tetapi mengambil semua bersama-sama berbagai bawahan ini bertujuan membuat orang tertentu.menyatu dalam akhir keseluruhan
Apa pendidikan? Apa tujuan itu? Jawaban untuk pertanyaan ini berbeda dari yang diberikan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan.
Tujuan pendidikan, mungkin dikatakan, adalah untuk meningkatkan jumlah warga yang mengetahui huruf, pengetahuan, atau untuk menghasilkan cukup banyak dokter, pengacara, pegawai negeri sipil, insinyur dan sejenisnya. Beberapa referensi mengatakan bahwa tujuan lain dari pendidikan adalah untuk mendapatkan hal yang berharga dari bidang pendidikan, sosial, politik atau ekonomi. Untuk mencapai tujuan pendidikan,kita harus memahami pendidikan sebagai tujuan itu sendiri, sesuatu intrinsik yang baik, yang melibatkan perkembangan seseorang. Untuk bertanya tujuannya, adalah dengan menganggapnya sebagai suatu alat yang dirancang untuk membawa tentang barang eksternal, pekerja terampil, eksekutif, dan profesional. Hal ini karena perbedaan yang sering dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah internal dan yang tidak patut untuk mencapai tujuan pendidikan yang terletak di luar dirinya.
Pendidikan adalah sesuatu hal yang baik,yang kebenaran konseptualnya berasal dari arti normatif 'pendidikan'. Tujuan dari pedidikan adalah untuk mengajarkan sesuatu yang asalnya tidak tahu menjadi tahu.

IV. Asumsi tentang sifat manusia
Sebuah teori umum pendidikan dimulai dengan hal yang logis, asumsi tentang sebuah akhir, dan gagasan orang berpendidikan. Untuk mewujudkan tujuannya itu,maka direkomendasikanlah prosedur pedagogi tertentu untuk latihan. Tetapi antara tujuan dan prosedur harus ada asumsi-asumsi tertentu dibuat tentang sifat orang yang akan dididik. Itu harus diasumsikan bahwa sifat manusia hanya sampai batas tertentu dapat ditempa. Pengalaman yang terjadi pada murid, memiliki beberapa efek yang berlangsung pada perilaku dia berikutnya. Tidak akan ada gunanya mencoba mengajar anak-anak jika apapun yang dilakukan tidak bisa membuat perbedaan untuk mereka. Asumsi ini, seperti asumsi tentang tujuan, prasyarat logis pendidikan yang terjadi sama sekali, dan ini adalah masalah kepentingan filosofis bahwa asumsi tersebut salah satu yang bukan hanya dapat dilakukan tapi harus dilakukan.
Ini adalah kegagalan untuk mengadopsi asumsi berdasarkan bukti tersebut yang vitiates baik apa yang ditawarkan oleh para ahli teori umum sejarah. Dalam asumsi terakhir yang bersifat substansial tentang anak-anak sering diduga, berasal dari pandangan metafisik atau agama dari sifat manusia, dan jarang di dasarkan pada pemeriksaan sistematis laki-laki atau anak-anak yang sebenarnya. Misalnya, kadang-kadang diasumsikan bahwa alam manusia pada dasarnya harus disediakan ketika berhadapan melawan anak-anak. Gagasan Calvinis dari ‘mengusir Adam Tua’ dianggap memiliki implikasi praktis yang signifikan bagi guru sekolah. Sebaliknya, Rousseau menola sepenuhnya kepercayaan dosa dalam manusia dan menyatakan bahwa anak-anak, meskipun tidak terlahir secara moral baik, pada dasarnya tetap baik dalam arti bahwa meeka sepenuhnya kekurangan asli korupsi. Perbedaan kedua asumsi ini adalah bahwa tidak ada pengalaman anak-anak yang sebenarnya akan berfungsi untuk memalsukan mereka. Seorang anak dari disposisi malaikat tidak akan menentang asumsi Calvinis, karena akan diasumskan bahwa kejahatan itu telah didorong keluar, karena pada awalnya ia bebas dari itu. Seorang anak tidak akan benar-benar ganas memalsukan asumsi Rousseau sejak Rousseau adalah wont untuk menjelaskan wakil sebagai hasil korupsi oleh masyarakat. Baik Calvin atau Rousseau pernah mencoba untuk membangun asumsi ini dengan mencari tahu apa yang diakukan anak sperti pada umumnya. Mereka membuat asumsi a priori, sebelum bukti empiris. Asumsi lain tentang anak-anak adalah tentang anggapan locke bahwa tabula rasa lahir mereka, kognitif kosong. Hal ini bisa benar pada kenyataannya, meskipun teori linguistik modern seperti Chomsky sampai batas beberapa pertanyaan itu. Hal ini bisa benar pada kenyataannya, meskipun teori linguistik modern seperti Chomsky sampai batas beberapa pertanyaan itu. Hal yang sama dapat dikatakan pandangan unargued Froebel bahwa setiap anak ilahi mencontohkan pola pembangunan yang perlu direalisasikan dalam hidupnya, dan yang menjadi tujuan untuk mewujudkan pendidikan.
Kritik umum dari sebuah asumsi seperti ini adalah bahwa mereka dari jenis busur yang salah untuk teori pendidikan. Mereka adalah asumsi apriori, mengadopsi depan pengalaman, dan dari jenis pengalaman yang dapat melakukan apa-apa untuk mengkonfirmasi atau menyangkal. Apa yang dibutuhkan dalam teori pendidikan adalah gambaran faktual yang akurat tentang sifat manusia, terutama alam anak, dan hal ini hanya dapat datang dari studi yang ditetapkan sengaja untuk menemukan apa yang anak-anak suka. Di sini kita memiliki beberapa titik filosofis lebih penting. Yaitu : jika kita ingin menemukan beberapa kebenaran tentang dunia, tentang apa yang ada di dalamnya atau apa yang mungkin terjadi di dalamnya, kita harus mulai dengan memeriksa dunia, dengan pengamatan dan eksperimen. Tidak ada bantuan diberikan dengan membuat asumsi sebelum pengalaman tentang apa yang terjadi atau apa yang mungkin terjadi. Jadi asumsi Froebel tentang alam anak hampir tidak berguna sebagai bantuan untuk praktik pendidikan. Untuk mengatakan bahwa alam seorang anak akan berkembang sesuai pola ilahi yang telah ditentukan, atau harus dibantu untuk melakukannya, adalah mengatakan tidak lebih dari itu akan karena akan berkembang. Apapun hasilnya akan kompatibel dengan asumsi ini. Yang dibuat oleh Calvin dan oleh Rousseau tidak banyak membantu. Apa praktisi pendidikan perlu mengetahui tentang anak-anak: bagaimana mereka mengembangkan, bagaimana mereka dapat termotivasi dan dikelola, apa yang dapat diharapkan dari mereka pada berbagai tahap dalam perkembangan mereka, akan datang dari studi ilmiah anak-anak sendiri.
Piaget, Freud, Kohlberg dan anak-studi spesialis lebih menawarkan hal ini dibandingkan dengan nama besar dalam teori pendidikan tradisional.

V. Dua pendekatan untuk teori umum pendidikan.
Kita sekarang dapat memperluas pendekatan teori pendidikan dengan menguraikan dua asumsi besar yang telah dibuat tentang sifat manusia, asumsi yang berbeda secara radikal dalam penekanan mereka dan yang bila diterapkan, telah memberikan arah yang berbeda secara radikal untuk praktik pendidikan. Asumsi mencerminkan apa yang disebut rekening dan fenomena organik.
Di antara berbagai pihak yang ada di dunia, beberapa cukup jelas tercipta dari satu jenis atau yang lain. Lainnya jelas organisme, atau makhluk hidup. Sebuah jam adalah contoh jenis pertama, sayuran contoh kedua. Perbedaan penting antara mereka adalah bahwa mereka tercipta seperti biasa meskipun tidak selalu buatan manusia, sedangkan entitas organik bukan buatan manusia tetapi alami dengan cara yang tidak bisa ditemukan oleh manusia. Perbedaan ini dapat dimanfaatkan dengan analogi untuk mendapatkan wawasan ke dalam cara kerja dan perilaku entitas dan organisasi yang tidak benar-benar seperti jam atau sayuran, misalnya masyarakat atau negara atau seorang pria. Thomas Hobbes secara tertulis Leviathan, diibaratkan seorang pria yang dibuat dengan mesin, terdiri dari mata air, roda dan tuas. Ini mungkin cara yang menganggap sebuah anatomi manusia sebagai semacam mesin yang melibatkan bagian yang bergerak. Tentu saja seorang pria lebih dari mesin, tidak sebagai jam, tetapi mungkin berguna atau kadang-kadang mudah untuk melihat laki-laki dengan cara ini untuk memberikan model sederhana dari apa yang dalam kenyataan sangat kompleks. Hobbes mengadopsi model ini karena dia ingin mengejar garis tertentu dalam sebuah argumen politik, untuk menggambarkan masyarakat manusia itu sendiri sebagai penemuan yang terdiri dari individu sendiri yang bisa di anggap dengan cara ini. Dari pendekatan organik, misalnya Froebel, sebaliknya mengambil sebagai modelnya pandangan entitas sebagai hidup tumbuh kembang makhluk yang alami keseluruhan. Disini berbagai elemen yang merupakan hal yang tidak hanya terintegrasi ke dalam sistem checks dan balances, roda dan tuas, seperti dalam kasus mesin, namun membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi sebagai suatu entitas yang lebih penting daripada jumlah bagiannya. Bagian-bagian yang dianggap sebagai jaringan hidup yang secara bersama-sama merupakan keseluruhan. Keseluruhannya adalah logis sebelum bagian-bagiannya, dalam arti bahwa bagian-bagiannya hanya ada sebagian dari bagian keseluruhan. Jadi seorang pria lebih dari satu himpunan tulang dan otot serta saraf. Seperti Hegel dan para pengikutnya akan memilikinya, masyarakat adalah sesuatu yang lebih dari totalitas individu yang menulis itu. Sebuah mesin juga terdiri dari bagian-bagian, tetapi tidak lebih dari jumlah bagian-bagian yang terorganisasi, ‘keutuhan’ adalah sekedar agregat dari bagian. Selain itu, tidak seperti mesin organisme mampu tumbuh dan berkembang, yang memiliki prinsip internal dinamis yang membantu untuk menentukan sejarahnya.
Sekarang, seperti yang disarankan diatas adalah mungkin dan kadang mungkin berguna untuk membuat asumsi tentang sifat manusia berdasarkan perbedaan mekanistik-organik.
Ada rasa di mana seorang pria seperti mesin, sistem input dan output, salah satu yang dapat bekerja secara efektif atau tidak efektif. Hal ini banyak yang bisa dibentuk oleh penelitian empiris dan setiap asumsi semacam ini akan menjadi ilmiah terhormat. Menganggap manusia hanya sebagai mesin akan mengabaikan apa yang pada dasarnya manusia dalam dirinya. Namun kadang-kadang mungkin kasus bahwa manusia adalah mahluk yang paling baik dipahami dalam hal mekanistik. Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan, mungkin kelemahan yang paling jelas kecenderungannya untuk 'mengarah kepada pernyataan ketidak jelasan dan tentang perasaan, aspirasi dan sejenisnya. Bahkan, meskipun kedua model memiliki kegunaan mereka itu juga tidak bisa menekan analogi terlalu jauh. Tak satu pun dari mereka, sendirian, memberikan gambaran yang memadai; kedua mungkin berguna sebagai model, versi sederhana dari realitas. Titik memperkenalkan mereka di sini adalah untuk menunjukkan bahwa mereka masing-masing fitur sebagai asumsi mendasar tentang sifat manusia dan mendukung suatu teori umum pendidikan. Diterjemahkan ke dalam konteks pendidikan dua pendekatan akan mengambil bentuk yang berbeda. Sebuah teori pendidikan berbingkai pada asumsi mekanistik akan mengadakan bahwa manusia adalah jenis mesin. Seperti mesin apapun, kerja yang efektif akan diungkapkan oleh kinerja, yang pada pria akan perilaku eksternal nya. Pendidikan akan menjadi salah satu cara untuk membuat eksternal nya
Tanggapan seefektif mungkin murid A akan dianggap sebagai perangkat yang bisa kerja sengaja diatur. dari itu tanpa Dia tidak akan 'tumbuh' atau 'berkembang' menurut beberapa internal dinamis:. Lebih perilakunya akan dimodifikasi atau 'berbentuk' untuk pendekatan beberapa tujuan yang diinginkan, seperti hidup harmonis dan bahagia dalam masyarakat. Mengajar akan menjadi masalah pengorganisasian yang diinginkan sebagai input adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Orang berpendidikan akan menjadi salah satu output perilaku yang memenuhi kriteria yang layak diadopsi oleh masyarakatnya.
Pendidikan berdasarkan pandangan organik manusia akan cenderung hanya penekanan aspek-aspek dari murid yang pandangan mekanistik akan mengabaikan: prinsip-prinsip internal pembangunan dan pertumbuhan. Asumsi organik adalah bahwa murid pada dasarnya adalah 'tumbuh' ini berarti bahwa pendidikan itu adalah upaya untuk mendorong perkembangan individu dari dalam, melibatkan pertumbuhan organik dari pada adaptasi mekanis untuk lingkungan. muncul dari asumsi-asumsi yang sangat berbeda atau asumsi tentang sifat manusia. Mereka memiliki pengaruh besar dan signifikan terhadap teori pendidikan dan praktek historis,. Pendekatan mekanistik telah diadopsi oleh filsuf Perancis Hclvetius, JamesMill dan lebih baru-baru ini, oleh BF Skinner.
Pendidikan adalah sebuah slogan yang berasal dari pendekatan ini. Pandangan organik dicontohkan oleh Rousseau dan banyak murid-Nya dan pengekor, Froebel misalnya, dan Dewey. Dihadapkan dengan teori-teori pendidikan jenis ini, tugas filsuf pendidikan adalah untuk menarik keluar dan membuat asumsi seperti eksplisit dan Ia telah mengemukakan bahwa yang baik dari mereka harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah deskripsi analog, dan tidak satu pun dari model ini harus diambil terlalu harfiah. Mereka tidak sepenuhnya bercerai dari bukti empiris, tetapi masing-masing cenderung memberikan pandangan satu sisi dari keseluruhan.Mereka menyediakan cara yang berguna untuk melihat praktik "pendidikan, dan asumsi masing-masing melakukan pelayanan dalam menarik perhatian pada aspek-aspek dari sifat manusia yang lain mungkin mengecilkan atau mengabaikan. Para ahli teori sejarah cenderung untuk mengadopsi satu atau yang lain sebagai rekening lengkap manusia sifat dan sejauh ini teori-teori sejarah itu sendiri dari sisi saja. Sebuah cara yang lebih baik memanfaatkan analogi adalah untuk mengenali bahwa setiap menawarkan perspektif yang berbeda dalam pendidikan, dan bahwa keduanya harus seharusnya memberikan pandangan lengkap atau komprehensif.